Saturday, January 12, 2013

Sebuah Episode, Di Kota Paling Romatis Sedunia (Part 2)



***
Sore yang sungguh indah di tengah kota Paris. Konon katanya, Paris adalah kota paling romantis sedunia. Bangunan-bagunan yang artistic, seperti Musée du Louvre, yang menyimpan mahakarya seniman-seniman besar dunia menjadi daya tarik tersendiri. Tata kotanya yang rapi, bersih dan memiliki banyak taman yang tertata rapi pula, membuat kota tersebut lebih menawan. L’avenue des Champs-Élysées dengan Arc du Triomphe yang berada persis di ujung baratnya, menjadi bagian di jantung kota Paris yang tidak bisa dilewatkan untuk dikunjungi. Tidak heran di sepanjang jalan itu, berjejer toko-toko yang menjual barang-barang dengan brand termahsyur di dunia, yang harganya selangit. Orang-orang kalangan tertentu saja yang bisa berbelanja di sana. Bagi seseorang dengan ukuran kantong seperti Bila, yang hanya bermodalkan uang beasiswa, berjalan-jalan dan mengabadikan moment tersebut dengan kamera saja sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan tentu saja sang primadona yang menjadi icon Paris, menara Eiffel. Sambil mendengarkan alunan music klasik, Piano Sonate #8 in C minor, OP.13 "Pathetique" - 2nd Movement, karya seorang musisi besar Ludwig van Beethoven, Bila duduk sendiri di sebuah bangku taman yang langsung menghadap sang nyonya besar mahakarya kota Paris tersebut. Saat itu, udara masih terasa sangat dingin untuk kulit tropisnya. Namun, nampaknya suhu seperti ini biasa untuk orang-orang disekitarnya. Sore itu, dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala dan sisa-sisa salju yang tampak seperti kristal, kota Paris terlihat begitu eksotik.  Eiffel terlihat begitu anggunnya, berwarna perak keemasan karena efek pencahayaan yang luar biasa. Dengan musik klasik yang masih mengalun tenang menalui iPod-nya, ia menikmati sore yang luar biasa itu. Subhanallah. 

Sampai detik inipun ia masih belum percaya bahwa ia ada di sini. Sambil memandang pemandangan menakjubkan dihadapannya ia kembali memikirkan hal-hal luar biasa yang terjadi pada dirirnya. Perjalanan ini diawali ketika ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar bahasa Perancis di Paris selama 2 bulan dari sebuah lembaga pendidikan Perancis.  Ingat-ingatan itu kembali memasuki pikirannya, tes-tes yang dilalui untuk mendapatkan beasiswa itu, proses antrean panjang saat membuat passport, bahkan masalah di kedutaan Perancis saat membuat visa karena dia berjilbab yang hampir saja membuatnya tidak  bisa berangkat. Subhanallah. Beginilah cara Allah menyayangi hambanya, pikirnya. Dengan memberikan sebuah nikmat dengan 2 pilihan saja, baik atau sangat baik. Selama ini ia selalu membayangkan, ia berjalan di tengah kota di sebuah negara di Eropa sambil mendengarkan music klasik. Pas sekali rasanya. Dan saat itu terjadi, sebuah ketidakpercayaanlah yang kembali timbul dalam benaknya, hingga sebuah sapaan menyadarkan,
Vous voulez manger quelque chose mademoiselle?[1]
Seorang ibu tua menyapanya, menawarkan beberapa potong roti, salah satunya roti berisi daging dan sejenis sayur, semacam sandwich, pikirnya. Perutnya memang sangat lapar,  hari ini adalah hari keduanya di Perancis dan ia belum makan apapun selain roti dan mie instant, yang dimasak dengan hanya disedu air panas, yang ia bawa dari tanah air tadi pagi. Masalah pertama yang dihadapi seorang muslim ketika tiba di negeri orang adalah masalah makanan, susah untuk mendapat makanan halal di sana. Dan itupun yang ia hadapi sejauh ini. Tawaran ibu itu sungguh menggiurkan, menyantap roti itu pasti sangat enak. Namun, kekhawatirannya akan kehalalan  makanan itu, mampu melawan nafsunya, dan mematahkan keinginannya untuk menerima roti tersebut. Ia pun berkata,
Non, merci beaucoup. J’ai déjà mangé.[2]
Ia sama sekali tidak berbohong, dia memang sudah makan tadi pagi. Tidak banyak yang mereka obrolkan. Ibu itu hanya sebatas bertanya siapa namanya, dari mana dan apa keperluannya datang ke Perancis, dan ibu itu pun pergi. Bila sungguh merasa sangat senang mengobrol dengan ibu itu. Sejauh ini ia belum punya teman sama sekali. Obrolannya dengan ibu itu membuatnya merasa diterima di negeri asing itu. Program belajar itu memang baru akan dimulai beberapa hari lagi, sehingga banyak peserta lain yang belum datang. Masih ada banyak hari untuk dilalui, ini belumlah seberapa. Harus mempersiapkan untuk yang terburuk, pikirnya. 

                                                                                                                               -bersambung-


[1]  Apakah Anda ingin makan sesuatu, Nona?

[2]  Tidak, terima kasih banyak. Saya sudah makan.

Dan Aku pun Belajar.... (Edisi Kangen INKLUSIF dan seisinya)



 
Bagi sebagian orang, mungkin mereka adalah masalah, atau pembuat onar yang dipandang sebelah mata. Dan mungkin, bagi sebagian orang tua yang mendapat rezeki dengan dititipi seorang anak dengan kekekurangan seperti mereka mengangkap bahwa Allah tidak adil . Sungguh, pendapat yang demikian terasa begitu kejam bagi mereka. Anak autis, down syndrome, slow learner, tuna rungu, tuna wicara... mereka adalah sumber pembelajaran yang luar biasa bagi orang-orang yang mau mengenal mereka lebih dekat.. 

Bagi ku, mengajar adalah hobby. Oh,... bukan,bukan... lebih tepat disebut, passion. Mengajar di lembaga belajar, privat SD, SMP, SMA dan bentuk mengajar-mangajar yang lain pernah ku lakukan. Tapi, kali ini benar-benar berbeda. INKLUSIF, sebuah sanggar belajar sederhana di pinggir kota Jogja. Jika melihat dari luar, mungkin sanggar ini hanyalah sebuah rumah sederhana yang setiap sore didatangi oleh anak-anak kecil untuk sekedar belajar membaca, menulis, berhitung, atau mengerjakan PR. Bahkan mungkin bagi orang yang hanya melintas, tidak akan menyangka jika tempat itu adalah sebuah sanggar belajar, dan itu pula pendapatku saat pertama kali menyambangi tempat itu. Sederhana, memang begitulah, beberapa meja panjang, tikar, rak buku dengan buku-buku pelajaran SD kelas 1-6, dan beberapa alat bantu belajar, tanpa poster-poster bahkan papan nama. Sederhana, sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan tempat itu saat ini. Dan, disitulah aku mengajar beberapa bulan yang lalu. 

Selama 3 bulan, hampir setiap sore aku menyambangi tempat itu. Ada 4 guru tetap yang mengajar, salah satunya adalah Bu Ami, beliau pendiri sanggar sekaligus pemilik rumah. Pada awalnya mungkin hanya sekitar 20-30 anak yang belajar di sana. Tapi, dengan semakin banyaknya anak yang datang untuk belajar, Bu Ami dan teman-teman kewalahan mengajar, dan datanglah aku dan teman-temanku untuk sekedar membantu. Mengajar berhitung, membaca, menulis, dan membantu mengerjakan PR, memang itu yang menjadi perkerjaan kami. Tapi pernah terbanyangkan-sebelumnyakah bahwa yang harus diajari membaca, menulis, berhitung adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus? yakkk.. itulah yang kami lakukan. 

INKLUSIF, bukan saja sanggar belajar untuk anak-anak sekolah pada umumnya, tapi juga bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sungguh, benar-benar pengalaman yang berbeda ketika berhadapan dengan mereka. Bingung, stuck, mati kutu, pada awalnya. Bagaimana caranya mengajari seorang anak tuna rungu konsep perkalian, bagaimana bisa membuat seorang anak tuna wicara melafalkan huruf dan membaca? Dan bagaimana mengajari ilmu seorang anak yang akupun tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi dengannya? Sungguh, bagi orang awam sepertiku, serasa mustahil. Tak terelakan, emosi sering kali muncul ketika mereka tak juga paham dengan apa yang aku ajarkan. "Sabar mbak... ", nasihat Bu Ami, ketika melihatku kewalahan  mengajari mereka. Bu Ami, memang sesosok orang yang sunguh inspiratif. Beliau sungguh sabar dan tulus. Beliau mendirikan sanggar belajar ini, sama sekali bukan karena alasan profit, tapi tulus dan murni karena Bu Ami mencintai anak-anak itu, bahkan sering kali Bu Ami mengajar tanpa imbalan sepeserpun. Sabar dan cinta, itu yang kulihat dari Bu Ami dan pengajar-pengajar yang lain ketika mengajar anak-anak luar biasa ini. Dan ajaib, dengan resep itu, anak tuna rungu kini bisa berhitung, menulis, bahkan membaca koran, anak tuna wicara kini sudah mampu bercanda dengan anak-anak lain pada umumnya, dan seorang anak down syndrome yang pada awalnya tidak bisa apa-apa kini bisa hidup lebih mandiri. 

Aku memang mengajar disana, tapi sungguh, justru aku yang jauh lebih banyak belajar dari mereka. Pada awalnya mereka membutuhkanku sebagai staff pengajar, tapi pada akhirnya akulah yang membutuhkan mereka. Mereka bukanlah anak-anak Sekolah Luar Biasa, tapi mereka memang anak-anak luar biasa yang mempu mengalahkan kekurangan mereka dan menjadikan itu sebagai inspirasi bagi orang lain yang mau mengenal mereka lebih dekat. Dan sungguh, orang-orang seperti Bu Ami dan teman-teman pengajar disana, guru-guru di Sekolah Luar Biasa, adalah orang-orang yang tidak kalah hebat dari pada guru-guru pada umumnya bahkan terkadang mereka jauh lebih hebat, tidak sepantasnya pekerjaan mereka dipandang sebelah mata. Sungguh pengalaman yang luar biasa pernah ada di sana. Dan setiap motorku memasuki halaman sanggar, selalu mereka menyambutku dengan sapaan hangat yang kurindukan saat ini dan yang akan selalu kurindukan, "Mbak Encaaaaaa......"