Saturday, March 31, 2012

Sebuah Episode, Di Kota Paling Romatis Sedunia

Wussssss……….

Seketika udara dingin langsung menyambut dan mengerutkan kulit gadis tropis itu. Sensasi yang tidak biasa. Selama 19 tahun ia hidup di negeri tropis dan kini untuk pertama kalinya ia menghadapi suhu udara di bawah 10˚C. Paris memang terlihat pucat dari atas sana tadi. Hampir di akhir musim dingin, sungguh waktu kedatangan yang tepat pikirnya. Mungkin kostumnyalah saat ini yang kurang tepat. Sudah ia perhitungkan sebelum pergi, pakaian apa yang  harus dikenakannya. Sweater dan syal tebal itu ternyata belum cukup bersahabat dengan udara yang baru saja menyapanya saat keluar dari pesawat.

Wusss… 

Namun, semua itu tidak berarti apapun jika dibandingkan bara api semangat dalam dirinya. Kini hati dan jiwanya sedang benar-benar berkobar. Rasa lelah yang dirasakan beberapa waktu yang lalu karena penerbangan 18 jam sirna seiring dengan landing-nya pesawat. Bahkan rasa mual dan pusing karena turbulence yang dirasakan selama berjam-jam dalam pesawat sirna seiring dengan hembusan angin dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Bagaimana tidak, kini rasa tidak percayanyalah yang memuncak, menimbulkan  tabir aneh dalam nalarnya, yang membuatnya lupa akan sensasi penerbangan pertama kali dalam hidupnya. Tabir aneh yang menutupi pikiran rasionalnya, hingga tidak tahu ini malam ataukah siang. Jetleg. Ia masih tidak percaya akan pencapaian yang telah ia lakukan hingga detik ini. Kini, ia berada di suatu tempat yang ia impikan selama 2 tahun terakhir, sebuah tempat yang tergambar jelas dalam benaknya dan ia tulis besar-besar dalam kertas mimpinya, PARIS.

"Bonjour mademoiselle, bienvenu á Paris."(1)
Sebuah sapaan dengan aksen Perancis bagian selatan yang asing ia dengar, begitu ramah dan kembali menyadarkannya, ini benar-benar Perancis. Diikutinya arus orang-orang berjalan dan mengantri dalam sebuah line, kantor imigrasi, pikirnya. Sedikit was-was, dengan penampilannya yang tertutup rapat seperti itu, ada sebuah kemungkinan besar ia dianggap orang aneh dan membahayakan. Apalagi dengan hebohnya dunia karena berita tentang teroris saat ini. Pikiran-pikiran aneh tentang muslim-muslim yang biasa diperlakukan buruk di kantor imigrasi ketika akan memasuki sebuah negara asing, muncul dalam pikirannya. Apa lagi, ini Perancis bro.. sebuah negara yang terkenal paling sekuler sedunia. Takkan kubiarkan mereka macam-macam dengan ku, pikirnya sambil menyiapkan beberapa dokumen yang ada dalam tas kecil yang selalu dibawa kemanapun : passport, visa dan sebuah surat sakti. Dokumen –  dokumen itu adalah barang paling berharga ketika sesorang melakukan berjalanan ke sebuah negara asing, harus selalu dibawa kemana-mana kalau tidak ingin dianggap imigran gelap jika tiba-tiba ada razia. Seorang laki-laki Perancis bertubuh besar berambut pirang meminta dokumennya, sebuah aksen perancis kota kali ini,
"Indonésie?"  (2)
"Oui."  (3)
"Moeslem?"
"Oui."
"Qu’est que vous ferez ici?"(4)

"J’apprendrai le Français au… " (5)
"D’accord, avancez!!" (6)
"Merci." (7)
Sedikit kasar, tapi , fiuh, aman. Surat sakti itu benar-benar ampuh, jika tidak ada dokumen itu mungkin akan menghabiskan waktu berjam-jam di kantor imigrasi hanya untuk menjelaskan keperluan selama di Perancis. Dokumen itu adalah dokumen resmi dari instansi yang mengadakan program pertukaran pelajar yang ia ikuti. Dalam dokumen tersebut jelas disebutkan bahwa orang ini, dengan identitas ini, memiliki kepentingan ini dan bertanda tangan kepala institusi tersebut. Jadi jelas sudah, Saya Sabila Fatimah, seorang muslimah Indonesia, dan saya tidak berbahaya.

Waktu menunjukkan pukul 18.00 waktu setempat, waktunya sholat ashar pikirnya. Setelah sukses di  kantor imigrasi dan mengambil luggage-nya, ia berwudhu di wastafel toilet dan dicarinya sebuah tempat aman untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Tidak ia sia-sia waktu untuk mencari mushola yang memang tidak akan ia temukan di  sana. Dekat ruang tunggu bandara ada sebuah sudut kecil sepi, tempat yang bagus. Tidak banyak yang berlalulalang dekat tempat itu. Sering kali ia mendapat cerita atau bahkan melihat langsung orang-orang yang sholat di tengah keramaian. Orang-orang yang begitu teguhnya mendirikan perintah sang-Khalik dimana pun berada. Sungguh mulia dan keren orang-orang seperti itu pikirnya, dan saat ini ia merasakannya sendiri. Sebuah sensasi yang luar biasa. Kenapa di tempat yang asing dan tidak wajar ini, ia malah merasa begitu dekat dengan Tuhan-nya. Sungguh sebuah kenikmatan beribadah yang luar biasa. Tak terasa, air mata pun jatuh membasahi pipinya. Sungguh sebuah ucapan syukur tak terhingga yang ia sampaikan pada Tuhannya. Sebuah rasa atas nikmat luar biasa dan jawaban akan semua doanya selama ini. Sangat jelas dalam ingatannya, 2 tahun yang lalu, ketika ia tuliskan dalam kertas mimpinya, “ 30. Akan kutapakan kaki ku di negeri music klasik, Eropa.” dan ia panjatkan doa tulus setiap hari kepada Tuhan-nya , “ ya Allah ijinkan aku untuk melihat    ciptaan-Mu di belahan bumi yang lain”, dan kini, semua itu terjadi. Sungguh, Allah-lah sebaik-baiknya pemberi nikmat. Sebuah sujud syukur yang panjang sebagai pembatal nadzarnya, mengakhiri doanya. Kini hati dan jiwa semakin siap dan mantap untuk menantang perjalanan hidupnya di tanah baru selama 2 bulan ke depan. “Bismillah, kulangkahkan kakiku untuk mempertanggungjawabkan sesuatu yang kuinginkan selama ini, bukan untuk siapapun, tapi untuk Tuhan-ku”, pikirnya seiring langkah kakinya meninggalkan bandara.  




 -bersambung-


1. Halo Nona, selamat datang di Paris
2. Indonesia 
3. Iya
4. Apa yang akan ada lakukan di sini?
5. Saya akan belajar bahasa Perancis di…
6.  Oke. Lanjut/maju.
7. Terimakasih

No comments:

Post a Comment