***
Sore yang sungguh indah di tengah kota Paris. Konon katanya,
Paris adalah kota paling romantis sedunia. Bangunan-bagunan yang artistic,
seperti Musée du Louvre, yang
menyimpan mahakarya seniman-seniman besar dunia menjadi daya tarik tersendiri.
Tata kotanya yang rapi, bersih dan memiliki banyak taman yang tertata rapi pula,
membuat kota tersebut lebih menawan. L’avenue
des Champs-Élysées dengan Arc du
Triomphe yang berada persis di ujung baratnya, menjadi bagian di jantung
kota Paris yang tidak bisa dilewatkan untuk dikunjungi. Tidak heran di
sepanjang jalan itu, berjejer toko-toko yang menjual barang-barang dengan brand termahsyur di dunia, yang harganya
selangit. Orang-orang kalangan tertentu saja yang bisa berbelanja di sana. Bagi
seseorang dengan ukuran kantong seperti Bila, yang hanya bermodalkan uang
beasiswa, berjalan-jalan dan mengabadikan moment tersebut dengan kamera saja
sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan tentu saja sang primadona yang
menjadi icon Paris, menara Eiffel. Sambil
mendengarkan alunan music klasik, Piano Sonate #8 in C minor, OP.13
"Pathetique" - 2nd Movement, karya seorang musisi besar Ludwig van
Beethoven, Bila duduk sendiri di sebuah bangku taman yang langsung menghadap sang
nyonya besar mahakarya kota Paris tersebut. Saat itu, udara masih terasa sangat
dingin untuk kulit tropisnya. Namun, nampaknya suhu seperti ini biasa untuk
orang-orang disekitarnya. Sore itu, dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala
dan sisa-sisa salju yang tampak seperti kristal, kota Paris terlihat begitu
eksotik. Eiffel terlihat begitu
anggunnya, berwarna perak keemasan karena efek pencahayaan yang luar biasa. Dengan
musik klasik yang masih mengalun tenang menalui iPod-nya, ia menikmati sore
yang luar biasa itu. Subhanallah.
Sampai detik inipun ia masih belum percaya bahwa ia ada
di sini. Sambil memandang pemandangan menakjubkan dihadapannya ia kembali
memikirkan hal-hal luar biasa yang terjadi pada dirirnya. Perjalanan ini
diawali ketika ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar bahasa Perancis
di Paris selama 2 bulan dari sebuah lembaga pendidikan Perancis. Ingat-ingatan itu kembali memasuki pikirannya,
tes-tes yang dilalui untuk mendapatkan beasiswa itu, proses antrean panjang
saat membuat passport, bahkan masalah di kedutaan Perancis saat membuat visa
karena dia berjilbab yang hampir saja membuatnya tidak bisa berangkat. Subhanallah. Beginilah cara
Allah menyayangi hambanya, pikirnya. Dengan memberikan sebuah nikmat dengan 2
pilihan saja, baik atau sangat baik. Selama ini ia selalu membayangkan, ia
berjalan di tengah kota di sebuah negara di Eropa sambil mendengarkan music klasik.
Pas sekali rasanya. Dan saat itu terjadi, sebuah ketidakpercayaanlah yang
kembali timbul dalam benaknya, hingga sebuah sapaan menyadarkan,
Vous voulez manger quelque chose mademoiselle?[1]
Seorang ibu tua menyapanya, menawarkan beberapa potong
roti, salah satunya roti berisi daging dan sejenis sayur, semacam sandwich,
pikirnya. Perutnya memang sangat lapar, hari ini adalah hari keduanya di Perancis dan
ia belum makan apapun selain roti dan mie instant, yang dimasak dengan hanya disedu
air panas, yang ia bawa dari tanah air tadi pagi. Masalah pertama yang dihadapi
seorang muslim ketika tiba di negeri orang adalah masalah makanan, susah untuk
mendapat makanan halal di sana. Dan itupun yang ia hadapi sejauh ini. Tawaran
ibu itu sungguh menggiurkan, menyantap roti itu pasti sangat enak. Namun,
kekhawatirannya akan kehalalan makanan
itu, mampu melawan nafsunya, dan mematahkan keinginannya untuk menerima roti
tersebut. Ia pun berkata,
Non, merci beaucoup. J’ai déjà mangé.[2]
Ia sama sekali tidak berbohong, dia memang sudah makan
tadi pagi. Tidak banyak yang mereka obrolkan. Ibu itu hanya sebatas bertanya
siapa namanya, dari mana dan apa keperluannya datang ke Perancis, dan ibu itu
pun pergi. Bila sungguh merasa sangat senang mengobrol dengan ibu itu. Sejauh
ini ia belum punya teman sama sekali. Obrolannya dengan ibu itu membuatnya
merasa diterima di negeri asing itu. Program belajar itu memang baru akan
dimulai beberapa hari lagi, sehingga banyak peserta lain yang belum datang. Masih
ada banyak hari untuk dilalui, ini belumlah seberapa. Harus mempersiapkan untuk
yang terburuk, pikirnya.
-bersambung-